Senin, 18 April 2016

MENJAGA LISAN

Lidah adalah salah satu nikmat Allah dan keajaiban penciptaan-Nya. Kecil fisiknya tetapi besar ketaatan atau kedurhakaannya, sebab kejelasan antara kufur dan iman seseorang hanya diketahui dari kesaksian lidahnya. Iman dan kufur merupakan tingkatan tertingggi bagi ketaatan dan kedurhakaan.
Dengan anggota tubuh kecil ini seseorang bisa menungkapkan kehendaknya dan mengekspresikan perasaannya. Dengannya ia meminta orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, membela dirinya dan mengungkapkan isi hatinya. Dengannya ia menyapa teman duduknya dan menghibur sahabat karibnya. Dengannya ia bisa jatuh dan terhina atau bangkit meraih kehormatannya. Orang yang diam tidak mengungkapkan kebenaran merupakan setan yang bisu dan dia telah bermaksiat kepada Allah. Orang yang menyampaikan kebatilan merupakan setan yang berbicara, ia juga bermaksiat kepada Allah.
Tiada satu patah katapun yang kita ucapkan luput dari pendengaran Allah.
Tiada satu patah katapun yang diucapkan kecuali pasti memakan waktu.
Tiada satu patah katapun yang kita ucapkan kecuali dengan sangat pasti harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Maka, sebaik-baik dan seberuntung- beruntungnya manusia adalah orang yang sangat mampu memperhitungkan dan memperhatikan setiap kata yang diucapkannya. Sungguh, alangkah sangat beruntungnya orang yang menahan setiap kata-kata yang diucapkannya, alangkah sangat beruntungnya orang yang menahan diri dari kesia-siaan berkata dan menggantinya dengan berdzikir kepada Allah. Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda. ْﻦَﻣَﻭ َﻥﺎَﻛ ُﻦِﻣْﺆُﻳ ِﻪَّﻠﻟﺎِﺑ ِﻡْﻮَﻴْﻟﺍَﻭ ِﺮِﺧﻵْﺍ ْﻞُﻘَﻴﻠَﻓ
ْﺖُﻤْﺼَﻴِﻟ ْﻭَﺃ ﺍًﺮْﻴَﺧ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam” Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan hadits-hadits Arba’in. Beliau menjelaskan, “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara”. Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”. Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara,
dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”. Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan- perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya. Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.
Setiap gerak-gerik dan ucapan manusia selalu tidak lepas dari pengawasan Allah dan dicatat oleh malaikat Raqib dan ‘Atid, firman Allah :
“ Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi”. (QS 89:14).
Karena selalu diawasi, bagaimanakah manusia menjaga lisan itu sesuai dengan fitrahnya ? 1. Selalu berkata yang baik. Selalu berkata yang baik harus menjadi sikap hidup bagi orang yang beriman. Dari Abu Hurairah t Rasulullah bersabda: ْﻦَﻣ َﻥﺎَﻛ ُﻦِﻣْﺆُﻳ ِﻪﻠﻟﺎِﺑ ِﻡْﻮَﻴﻟْﺍَﻭ ِﺮِﺧﻵْﺍ ْﻞُﻘَﻴْﻠَﻓ
ْﺖُﻤْﺼَﻴِﻟْﻭَﺃ ﺍًﺮْﻴَﺧ “ Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. (Bukhari dan Muslim).
Menurut Imam Syafi’i apabila seseorang hendak berbicara pikirkanlah sebelumnya, seandainya sudah jelas kemashlahatannya maka ucapkanlah namun apabila ragu dengan perkataannya itu jangan disampaikan hingga jelas kemashlahatannya. 2. Tidak berdusta. Para ahli bahasa telah bersepakat bahwa dusta atau bohong ialah menyampaikan informasi (laporan, data, pertanggung jawaban) yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Firman Allah :
” Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu katakan”. (QS 61:3).
Rasulullah bersabda: ٌﻊَﺑْﺭَﺃ ْﻦَﻣ َّﻦُﻛ ِﻪْﻴِﻓ َﻥﺎَﻛ ﺎًﻘِﻓﺎَﻨُﻣ ,ﺎًﺼِﻟﺎَﺧ ْﻦَﻣَﻭ َﻥﺎَﻛ ِﻪْﻴِﻓ ٌﺔَﻠْﺼَﺧ َّﻦُﻬْﻨِﻣ ْﺖَﻧﺎَﻛ ِﻪْﻴِﻓ ٌﺔَﻠْﺼَﺧ َﻦِﻣ ِﻕﺎَﻔِﻨّﻟﺍ ﻰَّﺘَﺣ :َّﻦُﻬَﻋَﺪَﻳ ﺍَﺫِﺇ َﻦِﻤُﺗْﺅﺍ ,َﻥﺎَﺧ ﺍَﺫِﺇَﻭ َﺙَﺪَﺣ ,َﺏَﺬَﻛ َﺪَﻫﺎَﻋﺍَﺫِﺇَﻭ ,َﺭَﺪَﻏ ﺍَﺫِﺇَﻭ َﻢَﺻﺎَﺧ َﺮَﺠَﻓ ( ﻪﻴﻠﻋ ﻖﻔﺘﻣ ) Empat perkara apabila ada pada diri seseorang, maka ia adalah seorang munafik tulen, dan barang siapa yang ada dalam dirinya salah satunya, maka ia telah memiliki salah satu sifat kemunafikan sampai ia meningalkannya : Apabila diberi kepercayaan ia berkhianat, apabila berbicara ia bohong, apabila berjanji ia melanggarnya, dan apabila berbantahan (bermusuhan ) ia berbuat fasik. (muttafaqun ‘alaih ). 3. Tidak menggunjing. Firman Allah yang artinya:
“ Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain”.(QS 49:12).
Sedangkan yang dimaksud dengan menggunjing ialah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah : ُﺔَﺒْﻴِﻐْﻟَﺍ َﻙُﺮْﻛِﺫ َﻙﺎَﺧَﺃ
ُﻩَﺮْﻜَﻳ ﺎَﻤِﺑ “Ghibah ialah engkau menyebut saudaramu
tentang apa-apa yang tidak disenanginya”. (H.R Muslim).
Menurut An-Nawawi, bahwa yang dimaksud oleh hadits tersebut diatas ialah menyebut kekurangan dan keburukan seseorang dalam hal dunianya, agamanya, akhlaknya, istri dan anaknya, suaminya, hartanya, rumah tangganya, pakaiannya, gaya jalannya, pembantu rumah tangganya, baik menyebut dengan lisan maupun dengan bahasa isyarat kedipan mata, tangan dan sebagainya. 4. Tidak menghina sesama muslim. Sebagai orang yang beriman kita tidak boleh menghina, mencela dan melaknat seseorang,
sebagaimana firman Allah I yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum memperolok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, dan jangan pula wanita-wanita (mengolok- olok) wanita-wanita lain, karena boleh jadi wanita-wanita (yang diolok-olok itu) lebih baik dari wanita yang mengolok-olok, dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan buruk sesudah iman dan barang siapa tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.(QS 49 :11).
Adapun yang dimaksud dengan mencela diri sendiri pada ayat di atas ialah mencela sesama muslim. Sebab orang Islam itu bersaudara seperti satu badan, jadi menghina seorang muslim berarti menghina diri sendiri.
Sedangkan panggilan buruk yang dimaksud ialah memanggil seseorang dengan panggilan/gelar yang tidak ia sukai, seperti pangilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: Hai fasik, dan kata-kata sejenisnya. 5. Tidak berkata kotor. Yaitu perkataan yang tidak sopan, tidak pantas didengar dan jorok, hal tersebut bisa mengakibatkan orang yang mendengarnya menjadi tersinggung dan sakit hati. Allah I tidak menyukai orang yang berkata-kata kotor. Sabda Rasulullah : َّﻥِﺇ َﻪﻠﻟﺍ َﻻ ُّﺐِﺤُﻳ
َﺶِّﺤَﻔَﺘُﻤْﻟﺍ َﺶِﺣﺎَﻔْﻟﺍ “ Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang kotor perkataannya menyebabkan orang lain berkata kotor pula”. (Lihat : Ibnu Hibban 5177, Mawaridu Al-Dzam’an 1566, Ahmad 6514, Kasyfu Al- Khafa 736, Hadits Hasan). 6. Menjauhi pertengkaran dan perdebatan Dalam suatu riwayat, Nabi pernah mendatangi sahabat beliau yang sedang berdebat, seraya beliau menegur dan melarang perbuatan itu, lalu beliau bersabda : ْﻦَﻣ َﻙَﺮَﺗ َﺏِﺬَﻜﻟْﺍ َﻮُﻫَﻭ ٌﻞِﻃﺎَﺑ َﻲِﻨُﺑ ُﻪَﻟ ﻲِﻓ ِﺾَﺑَﺭ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ْﻦَﻣَﻭ َﻙَﺮَﺗ َﺀﺍَﺮِﻤْﻟﺍ َﻮُﻫَﻭ ٌّﻖِﺤُﻣ َﻲِﻨُﺑ ُﻪَﻟ ﻲِﻓ ﺎَﻬِﻄَﺳَﻭ ْﻦَﻣَﻭ َﻦُﺴَﺣ ﺎَﻫَﻼْﻋَﺃ ﻲِﻓ ُﻪَﻟ َﻲِﻨُﺑ ُﻪُﻘُﻠُﺧ “Barang siapa yang meninggalkan dusta sedang dia dalam keadaan salah, dibangunkan )(oleh Allah) I untuknya (sebuah rumah) dipinggir surga. Dan barang siapa meninggalkan perdebatan sedangkan dia dalam keadaan benar, dibangunkan (oleh Allah) untuknya dipertengahannya dan barangsiapa yang baik akhlaknya dibangunkan untuknya (rumah) yang paling tinggi”. (H.R Tirmidzi dan berkata: Hadits Hasan).
Apalagi pada masa kini, pertengkaran dan perdebatan semakin meningkat dan banyak terjadi baik di pasar, di kantor, maupun di perusahaan. Karena itu bagi orang-orang yang niat hidupnya untuk ibadah kepada Allah , sudah tentu ia akan menghindari dan menjauhkannya baik dalam keadaan bersalah ataupun benar.
Wallahua’lam bisshawab. . BAHAYA LISAN Secara umum bahaya lisan ada pada kesalahan dalam berbicara, berdusta, menggunjing (ghibah), adu domba (namimah), bermuka dua (nifaq), berkata- kata kotor, berdebat yang tidak ada gunanya, memuji diri sendiri, membicarakan
kebatilan, menyebarkan permusuhan, menyakiti orang lain, menodai kehormatan orang lain, dan sebagainya. Komitmen bersikap diam memungkinkan seseorang untuk menghimpun tekad, mengedepankan sikap tenang, fokus untuk berfikir, berdzikir, beribadah dan selamat dari bahaya lidah, baik di dunia maupun di akhirat. CARA MENJAGA LISAN Setiap perkataan yang keluar dari mulut kita adalah sebuah perkara yang besar, berapa banyak dari perkataan buruk seseorang dapat menyebabkan kemarahan dari Allah ‘azza wajalla dan menjatuhkan pelakunya kedalam jurang neraka. Berhati- hatilah dari terlalu banyak berceloteh dan terlalu banyak berbicara, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan- bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia “. (An nisa:114)
Ingatlah bahwa disampingmu ada malaikat yang senantiasa mengamati dan mencatat perkataanmu.
“Seorang duduk disebelah kanan,dan yang lain duduk disebelah kiri.tiada satu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (Qaaf:17-18).
Dibawah ini 13 nasihat tentang adab-adab (sopan-santun dalam kacamata syariat) bagi seorang muslim dalam upaya menjaga kata- kata lisannya.
1. Bacalah Al qur’an karim dan bersemangatlah untuk menjadikan itu sebagai wirid keseharianmu, dan senantiasalah berusaha untuk menghafalkannya sesuai kesanggupanmu agar engkau bisa mendapatkan pahala yang besar dihari kiamat nanti.
Dari abdullah bin ‘umar radiyallohu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi
wasallam, beliau bersabda:
“dikatakan pada orang yang senang membaca alqur’an: bacalah dengan tartil sebagaimana engkau dulu sewaktu di dunia membacanya dengan tartil, karena sesungguhnya kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca”. (HR.abu daud dan attirmidzi)
2. Tidaklah terpuji jika engkau selalu menyampaikan setiap apa yang engkau dengarkan, karena kebiasaan ini akan menjatuhkan dirimu kedalam kedustaan.
Dari Abu hurairah radiallahu ‘anhu,sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta ketika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengarkan.” (HR.Muslim dan Abu Dawud)
3. Jauhilah dari sikap menyombongkan diri (berhias diri) dengan sesuatu yang tidak ada pada dirimu, dengan tujuan membanggakan diri dihadapan manusia.
Dari aisyah radiyallohu ‘anha, ada seorang wanita yang mengatakan: “wahai Rasulullah, aku mengatakan bahwa suamiku memberikan sesuatu kepadaku yang sebenarnya tidak diberikannya.” , berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam : “orang yang merasa memiliki sesuatu yang ia tidak diberi, seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan.” (muttafaq alaihi)
4. Sesungguhnya dzikrullah (mengingat Allah) memberikan pengaruh yang kuat didalam kehidupan ruh seorang muslim, kejiwaannya, jasmaninya dan kehidupan masyarakatnya. Maka bersemangatlah untuk senantiasa berdzikir kepada Allah ta’ala, disetiap waktu dan keadaanmu. Allah ta’ala memuji hamba-hambanya yang mukhlis dalam firman-Nya:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring…” (Ali imran:191).
5. Jika engkau hendak berbicara,maka jauhilah sifat merasa kagum dengan diri sendiri, sok fasih dan terlalu memaksakan diri dalam bertutur kata, sebab ini merupakan sifat yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, dimana Beliau bersabda:
“sesungguhnya orang yang paling aku benci diantara kalian dan yang paling jauh majelisnya dariku pada hari kiamat : orang yang berlebihan dalam berbicara, sok fasih dengan ucapannya dan merasa ta’ajjub terhadap ucapannya.” (HR.Tirmidzi,Ibnu Hibban dan yang lainnya dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiallahu anhu)
6. Jauhilah dari terlalu banyak tertawa,terlalu banyak berbicara dan berceloteh.
Jadikanlah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, sebagai teladan bagimu, dimana beliau lebih banyak diam dan banyak berfikir beliau Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, menjauhkan diri dari terlalu banyak tertawa dan menyibukkan diri dengannya. Bahkan jadikanlah setiap apa yang engkau ucapkan itu adalah perkataan yang mengandung kebaikan, dan jika tidak, maka diam itu lebih utama bagimu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,maka hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik,atau hendaknya dia diam.” (muttafaq alaihi dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu)
7. Jangan kalian memotong pembicaraan seseorang yang sedang berbicara atau membantahnya, atau meremehkan ucapannya. Bahkan jadilah pendengar yang baik dan itu lebih beradab bagimu, dan ketika harus membantahnya, maka jadikanlah bantahanmu dengan cara yang paling baik sebagai syi’ar kepribadianmu.
8. Berhati-hatilah dari suka mengolok-olok terhadap cara berbicara orang lain, seperti orang yang terbata-bata dalam berbicara atau seseorang yang kesulitan berbicara. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS.Al- Hujurat:11)
9. Jika engkau mendengarkan bacaan Alqur’an, maka berhentilah dari berbicara, apapun yang engkau bicarakan, karena itu merupakan adab terhadap kalamullah dan juga sesuai dengan perintah-Nya, didalam firman-Nya:
Artinya: “dan apabila dibacakan Alqur’an,maka dengarkanlah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian diberi rahmat”. Qs.al a’raf :204
10. Bertakwalah kepada Allah,bersihkanlah majelismu (dimana engkau berkumpul) dari ghibah (gossip) dan namimah (adu domba) sebagaimana yang Allah ‘azza wajalla perintahkan kepadamu untuk menjauhinya. Bersemangatlah engkau untuk menjadikan didalam majelismu itu adalah perkataan- perkataan yang baik,dalam rangka menasehati,dan petunjuk kepada kebaikan.
Didalam hadits Mu’adz radhiallahu anhu tatkala beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam: apakah kami akan disiksa dengan apa yang kami ucapkan? Maka jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“engkau telah keliru wahai Mu’adz, tidaklah manusia dilemparkan ke Neraka diatas wajah-wajah mereka melainkan disebabkan oleh ucapan-ucapan mereka.” (HR.Tirmidzi,An-Nasaai dan Ibnu Majah)
11. Berhati-hatilah -semoga Allah menjagamu- dari menghadiri majelis (pertemuan/ perkumpulan) yang buruk dan berbaur dengan para pelakunya, dan bersegeralah-semoga Allah menjagamu- menuju majelis yang penuh dengan keutamaan, kebaikan dan keberuntungan.
12. Jika engkau duduk sendiri dalam suatu majelis, atau bersama dengan sebagian saudara/imu, maka senantiasalah untuk berdzikir mengingat Allah ‘azza wajalla dalam setiap keadaanmu sehingga engkau kembali dalam keadaan mendapatkan kebaikan dan mendapatkan pahala. Allah ‘azza wajalla berfirman:
Artinya: “(yaitu) orang – orang yang mengingat Allah sambil berdiri,atau duduk,atau dalam keadaan berbaring” (QS..ali ‘imran :191)
13. Jika engkau hendak berdiri keluar dari majelis, maka ingatlah untuk selalu mengucapkan:
“maha suci Engkau ya Allah dan bagimu segala pujian,aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak untuk disembah kecuali Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu”
Sehingga diampuni bagimu segala kesalahanmu di dalam majelis tersebut.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Dan perintah Nabi terhadap pemimpin- pemimpin yang jahat, “Siapa yang melawan dengan tangannya maka dia seorang mukmin, dan siapa yang melawannya dengan lisannya dia seorang mukmin, dan siapa yang melawannya dengan hatinya dia seorang mukmin. Dan tidak ada iman sekecil apapun sesudah itu.” (HR. Muslim)
Sementara bukti dibolehkan ghibah dalam rangka mengenalkan dan membedakan seseorang dari yang lain tanpa maksud merendahkan dan menghina adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Beliau berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengimami kami dalam shalat Zhuhur, dua rakaat lalu salam. Kemudian beliau menuju ke sebuah kayu di masjid depan dan meletakkan tangannya di atasnya. Di tengah-tengah jamaah terdapat Abu Bakar dan Umar, keduanya segan untuk berbicara kepada beliau. Segera muncul kesimpulan orang- orang yang berkata, “Shalat telah diqashar.” Dan di antara jama’ah terdapat seseorang yang dijuluki Nabi dengan Dzul Yadain, dia berkata, “Wahai Nabiyallah, apakah Anda lupa atau shalat diqashar?” Lalu beliau menjwab, “Aku tidak lupa dan tidak pula shalat diqashar.” Mereka menjawab, “Berarti Anda lupa ya Rasulallah.” Beliau menjawab, “Dzul Yadain benar.” Lalu beliau berdiri dan shalat dua rakaat lalu salam. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wasallam sujud sahwi.” (Muttafaq ‘alaih)
Dasarnya adalah Nabi memanggil laki-laki ini dengan dzul yadain (yang punya dua tangan). Telah diketahui, panggilan semacam itu jika untuk menerangkan dan membedakan dari yang lain boleh-boleh saja. Namun jika untuk merendahkan maka tidak boleh. Dari sini, ketika ‘Aisyah mengisaratkan kepada seorang wanita yang menemuinya bahwa dia pendek, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menegurnya dan menerangkan hal itu sebagai ghibah. Karena Aisyah bermaksud memberitahukan bentuknya bukan hanya untuk mengenalkan.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ghibah adalah membicarakan orang dengan sesuatu yang tidak dia suka ketika dia tidak ada. Sedangkan asal al-bahtu adalah membicarakan keburukan orang lain yang tidak ada padanya. Keduanya diharamkan. Tapi dibolehkan ghibah untuk tujuan syar’i dengan enam sebab berikut ini: 1. Al-Tazhallum (mengadukan kezhaliman). Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk mengadukan kezhaliman yang menimpa dirinya kepada penguasa, qadhi, atau yang memiliki otoritas hukum ataupun pihak yang
berwajib lainnya. Ia dapat menuntut keadilan ditegakkan atas orang yang mezhaliminya dengan mengatakan, “Si Fulan telah melakukan kezhaliman terhadapku dengan cara seperti ini dan itu.” 2. Permintaan bantuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran dengan mengatakan kepada orang yang diharapkan mampu melakukannya, “Si Fulan telah berbuat begini, selamatkah dia darinya.” 3. Permintaan fatwa (al istifta’). Misal seseorang mengatakan kepada seorang mufti (pemberi fatwa), si fulan atau ayahku atau saudaraku atau suamiku telah menzhalimiku dengan cara begini. Apakah dia berhak berbuat seperti itu? Lalu apa yang harus aku perbuat agar aku selamat darinya dan terhindar dari kezhalimannya? Atau pernyataan apapun yang semacam itu. Maka ini hukumnya boleh jika diperlukan. Tapi lebih baik dia mengatakan, “Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang, atau seorang suami, ayah, anak yang telah memperbuat hal seperti ini? Namun demikian menyebutkan secara rinci tetap boleh berdasarkan hadits Hindun dan aduannya, “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang pelit.” 4. Memperingatkan kaum muslimin dari keburukan. Hal ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya: - Menyebutkan keburukan orang yang buruk (jarh majruhin) dari kalangan perawi hadits, saksi ataupun pengarang. Semua itu boleh berdasarkan ijma’, bahkan wajib sebagai langkah melindungi syari’at. - Membeberkan aibnya ketika bermusyawarah untuk menjalin hubungan dengannya (bisa dalam bentuk, kerjasama, pernikahan dan lainya-pent). - Apabila melihat seseorang membeli sesuatu yang cacat atau membeli seorang budak yang suka mencuri, berzina, mabuk- mabukan, atau semisalnya. Engkau boleh memberitahukannya kepada pembelinya jika ia tidak tahu dalam rangka memberi nasihat bukan untuk menyakiti atau merusak. - Apabila engkau melihat seorang pelajar (santri) yang sering bertandang kepada orang fasik atau ahli bid’ah untuk menuntut ilmu, dan engkau khawatir dia terpengaruh dengan sikap negatifnya, maka wajib engkau memerinya nasihat dengan menjelaskan keadaan orang tersebut semata-mata untuk menasihati. - Seseorang yang memiliki kedudukan namun tidak melaksanakan dengan semestinya karena bukan ahlinya atau karena kefasikannya, maka boleh melaporkannya kepada orang yang memiliki jabatan di atasnya agar dia memperoleh kejelasan tentang keadaanya supaya dia tidak tertipu olehnya dan mendorongnya untuk istiqamah. 5. Seseorang yang melakukan kefasikan (kemaksiatan) atau kebid’ahan dengan terang-terangan, seperti minum-minuman keras, merampas harta orang (memalak), mengambil pungutan liar, dan melakukan perbuatan batil lainnya. Maka boleh menyebut (membicarakan)nya karena dia melakukan kejahatan dengan terang- terangan. Adapun yang selain itu, tidak boleh kecuali ada sebab yang lain. 6. Untuk mengenalkan. Apabila dia terkenal dengan panggilan al-A’masy (orang yang kabur penglihatannya), pincang, al-Azraq (yang berwarna biru), pendek, buta, buntung
tangannya, dan semisalnya maka boleh memperkenalkannya dengan menyebut hal itu. Namun tidak boleh menyebutnya (membicarakannya) karena menghina. Dan jika bisa memperkenalkannya dengan sebutan yang lain tentu itu lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages - Menu