MENJAGA LISAN
Lidah adalah salah satu nikmat Allah dan keajaiban
penciptaan-Nya. Kecil fisiknya tetapi besar ketaatan atau
kedurhakaannya, sebab kejelasan antara kufur dan iman seseorang hanya
diketahui dari kesaksian lidahnya. Iman dan kufur merupakan tingkatan
tertingggi bagi ketaatan dan kedurhakaan.
Dengan anggota tubuh kecil ini seseorang bisa menungkapkan
kehendaknya dan mengekspresikan perasaannya. Dengannya ia meminta orang
lain untuk memenuhi kebutuhannya, membela dirinya dan mengungkapkan isi
hatinya. Dengannya ia menyapa teman duduknya dan menghibur sahabat
karibnya. Dengannya ia bisa jatuh dan terhina atau bangkit meraih
kehormatannya. Orang yang diam tidak mengungkapkan kebenaran merupakan
setan yang bisu dan dia telah bermaksiat kepada Allah. Orang yang
menyampaikan kebatilan merupakan setan yang berbicara, ia juga
bermaksiat kepada Allah.
Tiada satu patah katapun yang kita ucapkan luput dari pendengaran Allah.
Tiada satu patah katapun yang diucapkan kecuali pasti memakan waktu.
Tiada satu patah katapun yang kita ucapkan kecuali dengan sangat pasti harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Maka, sebaik-baik dan seberuntung- beruntungnya manusia adalah orang
yang sangat mampu memperhitungkan dan memperhatikan setiap kata yang
diucapkannya. Sungguh, alangkah sangat beruntungnya orang yang menahan
setiap kata-kata yang diucapkannya, alangkah sangat beruntungnya orang
yang menahan diri dari kesia-siaan berkata dan menggantinya dengan
berdzikir kepada Allah. Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan
Muslim dalam kitab Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah bersabda. ْﻦَﻣَﻭ َﻥﺎَﻛ ُﻦِﻣْﺆُﻳ ِﻪَّﻠﻟﺎِﺑ
ِﻡْﻮَﻴْﻟﺍَﻭ ِﺮِﺧﻵْﺍ ْﻞُﻘَﻴﻠَﻓ
ْﺖُﻤْﺼَﻴِﻟ ْﻭَﺃ ﺍًﺮْﻴَﺧ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam” Imam Nawawi
berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan hadits-hadits Arba’in.
Beliau menjelaskan, “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits ini
adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih
dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka
silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu
akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak,
maka hendaknya dia tidak usah berbicara”. Sebagian ulama berkata,
“Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang
mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada
berbicara”. Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya
Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal
selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa
banyak orang yang menyesal karena bicara,
dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan
paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya
senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”. Beliau
berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak
mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari
bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu
adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali
orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya,
sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri
dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada
menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena
biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan- perkataannya
akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka
dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya. Beliau menambahkan di
hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya.
Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu
kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka
dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam.
Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia
akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang
yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.
Setiap gerak-gerik dan ucapan manusia selalu tidak lepas dari
pengawasan Allah dan dicatat oleh malaikat Raqib dan ‘Atid, firman Allah
:
“ Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi”. (QS 89:14).
Karena selalu diawasi, bagaimanakah manusia menjaga lisan itu sesuai
dengan fitrahnya ? 1. Selalu berkata yang baik. Selalu berkata yang
baik harus menjadi sikap hidup bagi orang yang beriman. Dari Abu
Hurairah t Rasulullah bersabda: ْﻦَﻣ َﻥﺎَﻛ ُﻦِﻣْﺆُﻳ ِﻪﻠﻟﺎِﺑ
ِﻡْﻮَﻴﻟْﺍَﻭ ِﺮِﺧﻵْﺍ ْﻞُﻘَﻴْﻠَﻓ
ْﺖُﻤْﺼَﻴِﻟْﻭَﺃ ﺍًﺮْﻴَﺧ “ Barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari kiamat maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. (Bukhari dan
Muslim).
Menurut Imam Syafi’i apabila seseorang hendak berbicara pikirkanlah
sebelumnya, seandainya sudah jelas kemashlahatannya maka ucapkanlah
namun apabila ragu dengan perkataannya itu jangan disampaikan hingga
jelas kemashlahatannya. 2. Tidak berdusta. Para ahli bahasa telah
bersepakat bahwa dusta atau bohong ialah menyampaikan informasi
(laporan, data, pertanggung jawaban) yang tidak sesuai dengan yang
sebenarnya. Firman Allah :
” Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu katakan”. (QS 61:3).
Rasulullah bersabda: ٌﻊَﺑْﺭَﺃ ْﻦَﻣ َّﻦُﻛ ِﻪْﻴِﻓ َﻥﺎَﻛ ﺎًﻘِﻓﺎَﻨُﻣ
,ﺎًﺼِﻟﺎَﺧ ْﻦَﻣَﻭ َﻥﺎَﻛ ِﻪْﻴِﻓ ٌﺔَﻠْﺼَﺧ َّﻦُﻬْﻨِﻣ ْﺖَﻧﺎَﻛ ِﻪْﻴِﻓ ٌﺔَﻠْﺼَﺧ
َﻦِﻣ ِﻕﺎَﻔِﻨّﻟﺍ ﻰَّﺘَﺣ :َّﻦُﻬَﻋَﺪَﻳ ﺍَﺫِﺇ َﻦِﻤُﺗْﺅﺍ ,َﻥﺎَﺧ ﺍَﺫِﺇَﻭ
َﺙَﺪَﺣ ,َﺏَﺬَﻛ َﺪَﻫﺎَﻋﺍَﺫِﺇَﻭ ,َﺭَﺪَﻏ ﺍَﺫِﺇَﻭ َﻢَﺻﺎَﺧ َﺮَﺠَﻓ ( ﻪﻴﻠﻋ ﻖﻔﺘﻣ
) Empat perkara apabila ada pada diri seseorang, maka ia adalah seorang
munafik tulen, dan barang siapa yang ada dalam dirinya salah satunya,
maka ia telah memiliki salah satu sifat kemunafikan sampai ia
meningalkannya : Apabila diberi kepercayaan ia berkhianat, apabila
berbicara ia bohong, apabila berjanji ia melanggarnya, dan apabila
berbantahan (bermusuhan ) ia berbuat fasik. (muttafaqun ‘alaih ). 3.
Tidak menggunjing. Firman Allah yang artinya:
“ Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain”.(QS 49:12).
Sedangkan yang dimaksud dengan menggunjing ialah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah : ُﺔَﺒْﻴِﻐْﻟَﺍ َﻙُﺮْﻛِﺫ َﻙﺎَﺧَﺃ
ُﻩَﺮْﻜَﻳ ﺎَﻤِﺑ “Ghibah ialah engkau menyebut saudaramu
tentang apa-apa yang tidak disenanginya”. (H.R Muslim).
Menurut An-Nawawi, bahwa yang dimaksud oleh hadits tersebut diatas
ialah menyebut kekurangan dan keburukan seseorang dalam hal dunianya,
agamanya, akhlaknya, istri dan anaknya, suaminya, hartanya, rumah
tangganya, pakaiannya, gaya jalannya, pembantu rumah tangganya, baik
menyebut dengan lisan maupun dengan bahasa isyarat kedipan mata, tangan
dan sebagainya. 4. Tidak menghina sesama muslim. Sebagai orang yang
beriman kita tidak boleh menghina, mencela dan melaknat seseorang,
sebagaimana firman Allah I yang artinya: “Hai orang-orang yang
beriman janganlah suatu kaum memperolok kaum yang lain, karena boleh
jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka yang
mengolok-olok, dan jangan pula wanita-wanita (mengolok- olok)
wanita-wanita lain, karena boleh jadi wanita-wanita (yang diolok-olok
itu) lebih baik dari wanita yang mengolok-olok, dan janganlah kamu
mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar
yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan buruk sesudah iman
dan barang siapa tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang
zalim”.(QS 49 :11).
Adapun yang dimaksud dengan mencela diri sendiri pada ayat di atas
ialah mencela sesama muslim. Sebab orang Islam itu bersaudara seperti
satu badan, jadi menghina seorang muslim berarti menghina diri sendiri.
Sedangkan panggilan buruk yang dimaksud ialah memanggil seseorang
dengan panggilan/gelar yang tidak ia sukai, seperti pangilan kepada
seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: Hai fasik, dan kata-kata
sejenisnya. 5. Tidak berkata kotor. Yaitu perkataan yang tidak sopan,
tidak pantas didengar dan jorok, hal tersebut bisa mengakibatkan orang
yang mendengarnya menjadi tersinggung dan sakit hati. Allah I tidak
menyukai orang yang berkata-kata kotor. Sabda Rasulullah : َّﻥِﺇ َﻪﻠﻟﺍ
َﻻ ُّﺐِﺤُﻳ
َﺶِّﺤَﻔَﺘُﻤْﻟﺍ َﺶِﺣﺎَﻔْﻟﺍ “ Sesungguhnya Allah tidak suka kepada
orang yang kotor perkataannya menyebabkan orang lain berkata kotor
pula”. (Lihat : Ibnu Hibban 5177, Mawaridu Al-Dzam’an 1566, Ahmad 6514,
Kasyfu Al- Khafa 736, Hadits Hasan). 6. Menjauhi pertengkaran dan
perdebatan Dalam suatu riwayat, Nabi pernah mendatangi sahabat beliau
yang sedang berdebat, seraya beliau menegur dan melarang perbuatan itu,
lalu beliau bersabda : ْﻦَﻣ َﻙَﺮَﺗ َﺏِﺬَﻜﻟْﺍ َﻮُﻫَﻭ ٌﻞِﻃﺎَﺑ َﻲِﻨُﺑ ُﻪَﻟ
ﻲِﻓ ِﺾَﺑَﺭ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ْﻦَﻣَﻭ َﻙَﺮَﺗ َﺀﺍَﺮِﻤْﻟﺍ َﻮُﻫَﻭ ٌّﻖِﺤُﻣ َﻲِﻨُﺑ
ُﻪَﻟ ﻲِﻓ ﺎَﻬِﻄَﺳَﻭ ْﻦَﻣَﻭ َﻦُﺴَﺣ ﺎَﻫَﻼْﻋَﺃ ﻲِﻓ ُﻪَﻟ َﻲِﻨُﺑ ُﻪُﻘُﻠُﺧ
“Barang siapa yang meninggalkan dusta sedang dia dalam keadaan salah,
dibangunkan )(oleh Allah) I untuknya (sebuah rumah) dipinggir surga. Dan
barang siapa meninggalkan perdebatan sedangkan dia dalam keadaan benar,
dibangunkan (oleh Allah) untuknya dipertengahannya dan barangsiapa yang
baik akhlaknya dibangunkan untuknya (rumah) yang paling tinggi”. (H.R
Tirmidzi dan berkata: Hadits Hasan).
Apalagi pada masa kini, pertengkaran dan perdebatan semakin
meningkat dan banyak terjadi baik di pasar, di kantor, maupun di
perusahaan. Karena itu bagi orang-orang yang niat hidupnya untuk ibadah
kepada Allah , sudah tentu ia akan menghindari dan menjauhkannya baik
dalam keadaan bersalah ataupun benar.
Wallahua’lam bisshawab. . BAHAYA LISAN Secara umum bahaya lisan ada
pada kesalahan dalam berbicara, berdusta, menggunjing (ghibah), adu
domba (namimah), bermuka dua (nifaq), berkata- kata kotor, berdebat yang
tidak ada gunanya, memuji diri sendiri, membicarakan
kebatilan, menyebarkan permusuhan, menyakiti orang lain, menodai
kehormatan orang lain, dan sebagainya. Komitmen bersikap diam
memungkinkan seseorang untuk menghimpun tekad, mengedepankan sikap
tenang, fokus untuk berfikir, berdzikir, beribadah dan selamat dari
bahaya lidah, baik di dunia maupun di akhirat. CARA MENJAGA LISAN Setiap
perkataan yang keluar dari mulut kita adalah sebuah perkara yang besar,
berapa banyak dari perkataan buruk seseorang dapat menyebabkan
kemarahan dari Allah ‘azza wajalla dan menjatuhkan pelakunya kedalam
jurang neraka. Berhati- hatilah dari terlalu banyak berceloteh dan
terlalu banyak berbicara, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka,
kecuali bisikan- bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi
sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara
manusia “. (An nisa:114)
Ingatlah bahwa disampingmu ada malaikat yang senantiasa mengamati dan mencatat perkataanmu.
“Seorang duduk disebelah kanan,dan yang lain duduk disebelah
kiri.tiada satu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada didekatnya
malaikat pengawas yang selalu hadir” (Qaaf:17-18).
Dibawah ini 13 nasihat tentang adab-adab (sopan-santun dalam
kacamata syariat) bagi seorang muslim dalam upaya menjaga kata- kata
lisannya.
1. Bacalah Al qur’an karim dan bersemangatlah untuk menjadikan itu
sebagai wirid keseharianmu, dan senantiasalah berusaha untuk
menghafalkannya sesuai kesanggupanmu agar engkau bisa mendapatkan pahala
yang besar dihari kiamat nanti.
Dari abdullah bin ‘umar radiyallohu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi
wasallam, beliau bersabda:
“dikatakan pada orang yang senang membaca alqur’an: bacalah dengan
tartil sebagaimana engkau dulu sewaktu di dunia membacanya dengan
tartil, karena sesungguhnya kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang
engkau baca”. (HR.abu daud dan attirmidzi)
2. Tidaklah terpuji jika engkau selalu menyampaikan setiap apa yang
engkau dengarkan, karena kebiasaan ini akan menjatuhkan dirimu kedalam
kedustaan.
Dari Abu hurairah radiallahu ‘anhu,sesungguhnya Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai
pendusta ketika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengarkan.”
(HR.Muslim dan Abu Dawud)
3. Jauhilah dari sikap menyombongkan diri (berhias diri) dengan
sesuatu yang tidak ada pada dirimu, dengan tujuan membanggakan diri
dihadapan manusia.
Dari aisyah radiyallohu ‘anha, ada seorang wanita yang mengatakan:
“wahai Rasulullah, aku mengatakan bahwa suamiku memberikan sesuatu
kepadaku yang sebenarnya tidak diberikannya.” , berkata Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam : “orang yang merasa memiliki
sesuatu yang ia tidak diberi, seperti orang yang memakai dua pakaian
kedustaan.” (muttafaq alaihi)
4. Sesungguhnya dzikrullah (mengingat Allah) memberikan pengaruh
yang kuat didalam kehidupan ruh seorang muslim, kejiwaannya, jasmaninya
dan kehidupan masyarakatnya. Maka bersemangatlah untuk senantiasa
berdzikir kepada Allah ta’ala, disetiap waktu dan keadaanmu. Allah
ta’ala memuji hamba-hambanya yang mukhlis dalam firman-Nya:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring…” (Ali imran:191).
5. Jika engkau hendak berbicara,maka jauhilah sifat merasa kagum
dengan diri sendiri, sok fasih dan terlalu memaksakan diri dalam
bertutur kata, sebab ini merupakan sifat yang sangat dibenci Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, dimana Beliau bersabda:
“sesungguhnya orang yang paling aku benci diantara kalian dan yang
paling jauh majelisnya dariku pada hari kiamat : orang yang berlebihan
dalam berbicara, sok fasih dengan ucapannya dan merasa ta’ajjub terhadap
ucapannya.” (HR.Tirmidzi,Ibnu Hibban dan yang lainnya dari hadits Abu
Tsa’labah Al-Khusyani radhiallahu anhu)
6. Jauhilah dari terlalu banyak tertawa,terlalu banyak berbicara dan berceloteh.
Jadikanlah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, sebagai
teladan bagimu, dimana beliau lebih banyak diam dan banyak berfikir
beliau Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, menjauhkan diri dari
terlalu banyak tertawa dan menyibukkan diri dengannya. Bahkan jadikanlah
setiap apa yang engkau ucapkan itu adalah perkataan yang mengandung
kebaikan, dan jika tidak, maka diam itu lebih utama bagimu. Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,maka
hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik,atau hendaknya dia
diam.” (muttafaq alaihi dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu)
7. Jangan kalian memotong pembicaraan seseorang yang sedang
berbicara atau membantahnya, atau meremehkan ucapannya. Bahkan jadilah
pendengar yang baik dan itu lebih beradab bagimu, dan ketika harus
membantahnya, maka jadikanlah bantahanmu dengan cara yang paling baik
sebagai syi’ar kepribadianmu.
8. Berhati-hatilah dari suka mengolok-olok terhadap cara berbicara
orang lain, seperti orang yang terbata-bata dalam berbicara atau
seseorang yang kesulitan berbicara. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih
baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS.Al-
Hujurat:11)
9. Jika engkau mendengarkan bacaan Alqur’an, maka berhentilah dari
berbicara, apapun yang engkau bicarakan, karena itu merupakan adab
terhadap kalamullah dan juga sesuai dengan perintah-Nya, didalam
firman-Nya:
Artinya: “dan apabila dibacakan Alqur’an,maka dengarkanlah dengan
baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian diberi rahmat”. Qs.al
a’raf :204
10. Bertakwalah kepada Allah,bersihkanlah majelismu (dimana engkau
berkumpul) dari ghibah (gossip) dan namimah (adu domba) sebagaimana yang
Allah ‘azza wajalla perintahkan kepadamu untuk menjauhinya.
Bersemangatlah engkau untuk menjadikan didalam majelismu itu adalah
perkataan- perkataan yang baik,dalam rangka menasehati,dan petunjuk
kepada kebaikan.
Didalam hadits Mu’adz radhiallahu anhu tatkala beliau bertanya
kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam: apakah kami akan
disiksa dengan apa yang kami ucapkan? Maka jawab Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam bersabda:
“engkau telah keliru wahai Mu’adz, tidaklah manusia dilemparkan ke
Neraka diatas wajah-wajah mereka melainkan disebabkan oleh ucapan-ucapan
mereka.” (HR.Tirmidzi,An-Nasaai dan Ibnu Majah)
11. Berhati-hatilah -semoga Allah menjagamu- dari menghadiri majelis
(pertemuan/ perkumpulan) yang buruk dan berbaur dengan para pelakunya,
dan bersegeralah-semoga Allah menjagamu- menuju majelis yang penuh
dengan keutamaan, kebaikan dan keberuntungan.
12. Jika engkau duduk sendiri dalam suatu majelis, atau bersama
dengan sebagian saudara/imu, maka senantiasalah untuk berdzikir
mengingat Allah ‘azza wajalla dalam setiap keadaanmu sehingga engkau
kembali dalam keadaan mendapatkan kebaikan dan mendapatkan pahala. Allah
‘azza wajalla berfirman:
Artinya: “(yaitu) orang – orang yang mengingat Allah sambil
berdiri,atau duduk,atau dalam keadaan berbaring” (QS..ali ‘imran :191)
13. Jika engkau hendak berdiri keluar dari majelis, maka ingatlah untuk selalu mengucapkan:
“maha suci Engkau ya Allah dan bagimu segala pujian,aku bersaksi
bahwa tidak ada Ilah yang berhak untuk disembah kecuali Engkau, aku
memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu”
Sehingga diampuni bagimu segala kesalahanmu di dalam majelis tersebut.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Dan perintah Nabi terhadap pemimpin- pemimpin yang jahat, “Siapa
yang melawan dengan tangannya maka dia seorang mukmin, dan siapa yang
melawannya dengan lisannya dia seorang mukmin, dan siapa yang melawannya
dengan hatinya dia seorang mukmin. Dan tidak ada iman sekecil apapun
sesudah itu.” (HR. Muslim)
Sementara bukti dibolehkan ghibah dalam rangka mengenalkan dan
membedakan seseorang dari yang lain tanpa maksud merendahkan dan
menghina adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu. Beliau berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengimami kami
dalam shalat Zhuhur, dua rakaat lalu salam. Kemudian beliau menuju ke
sebuah kayu di masjid depan dan meletakkan tangannya di atasnya. Di
tengah-tengah jamaah terdapat Abu Bakar dan Umar, keduanya segan untuk
berbicara kepada beliau. Segera muncul kesimpulan orang- orang yang
berkata, “Shalat telah diqashar.” Dan di antara jama’ah terdapat
seseorang yang dijuluki Nabi dengan Dzul Yadain, dia berkata, “Wahai
Nabiyallah, apakah Anda lupa atau shalat diqashar?” Lalu beliau menjwab,
“Aku tidak lupa dan tidak pula shalat diqashar.” Mereka menjawab,
“Berarti Anda lupa ya Rasulallah.” Beliau menjawab, “Dzul Yadain benar.”
Lalu beliau berdiri dan shalat dua rakaat lalu salam. Kemudian beliau
Shallallahu 'alaihi wasallam sujud sahwi.” (Muttafaq ‘alaih)
Dasarnya adalah Nabi memanggil laki-laki ini dengan dzul yadain
(yang punya dua tangan). Telah diketahui, panggilan semacam itu jika
untuk menerangkan dan membedakan dari yang lain boleh-boleh saja. Namun
jika untuk merendahkan maka tidak boleh. Dari sini, ketika ‘Aisyah
mengisaratkan kepada seorang wanita yang menemuinya bahwa dia pendek,
maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menegurnya dan menerangkan
hal itu sebagai ghibah. Karena Aisyah bermaksud memberitahukan bentuknya
bukan hanya untuk mengenalkan.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ghibah adalah membicarakan orang
dengan sesuatu yang tidak dia suka ketika dia tidak ada. Sedangkan asal
al-bahtu adalah membicarakan keburukan orang lain yang tidak ada
padanya. Keduanya diharamkan. Tapi dibolehkan ghibah untuk tujuan syar’i
dengan enam sebab berikut ini: 1. Al-Tazhallum (mengadukan kezhaliman).
Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk mengadukan kezhaliman yang
menimpa dirinya kepada penguasa, qadhi, atau yang memiliki otoritas
hukum ataupun pihak yang
berwajib lainnya. Ia dapat menuntut keadilan ditegakkan atas orang
yang mezhaliminya dengan mengatakan, “Si Fulan telah melakukan
kezhaliman terhadapku dengan cara seperti ini dan itu.” 2. Permintaan
bantuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat
kepada kebenaran dengan mengatakan kepada orang yang diharapkan mampu
melakukannya, “Si Fulan telah berbuat begini, selamatkah dia darinya.”
3. Permintaan fatwa (al istifta’). Misal seseorang mengatakan kepada
seorang mufti (pemberi fatwa), si fulan atau ayahku atau saudaraku atau
suamiku telah menzhalimiku dengan cara begini. Apakah dia berhak berbuat
seperti itu? Lalu apa yang harus aku perbuat agar aku selamat darinya
dan terhindar dari kezhalimannya? Atau pernyataan apapun yang semacam
itu. Maka ini hukumnya boleh jika diperlukan. Tapi lebih baik dia
mengatakan, “Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang, atau seorang
suami, ayah, anak yang telah memperbuat hal seperti ini? Namun demikian
menyebutkan secara rinci tetap boleh berdasarkan hadits Hindun dan
aduannya, “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang pelit.” 4.
Memperingatkan kaum muslimin dari keburukan. Hal ini memiliki beberapa
bentuk, di antaranya: - Menyebutkan keburukan orang yang buruk (jarh
majruhin) dari kalangan perawi hadits, saksi ataupun pengarang. Semua
itu boleh berdasarkan ijma’, bahkan wajib sebagai langkah melindungi
syari’at. - Membeberkan aibnya ketika bermusyawarah untuk menjalin
hubungan dengannya (bisa dalam bentuk, kerjasama, pernikahan dan
lainya-pent). - Apabila melihat seseorang membeli sesuatu yang cacat
atau membeli seorang budak yang suka mencuri, berzina, mabuk- mabukan,
atau semisalnya. Engkau boleh memberitahukannya kepada pembelinya jika
ia tidak tahu dalam rangka memberi nasihat bukan untuk menyakiti atau
merusak. - Apabila engkau melihat seorang pelajar (santri) yang sering
bertandang kepada orang fasik atau ahli bid’ah untuk menuntut ilmu, dan
engkau khawatir dia terpengaruh dengan sikap negatifnya, maka wajib
engkau memerinya nasihat dengan menjelaskan keadaan orang tersebut
semata-mata untuk menasihati. - Seseorang yang memiliki kedudukan namun
tidak melaksanakan dengan semestinya karena bukan ahlinya atau karena
kefasikannya, maka boleh melaporkannya kepada orang yang memiliki
jabatan di atasnya agar dia memperoleh kejelasan tentang keadaanya
supaya dia tidak tertipu olehnya dan mendorongnya untuk istiqamah. 5.
Seseorang yang melakukan kefasikan (kemaksiatan) atau kebid’ahan dengan
terang-terangan, seperti minum-minuman keras, merampas harta orang
(memalak), mengambil pungutan liar, dan melakukan perbuatan batil
lainnya. Maka boleh menyebut (membicarakan)nya karena dia melakukan
kejahatan dengan terang- terangan. Adapun yang selain itu, tidak boleh
kecuali ada sebab yang lain. 6. Untuk mengenalkan. Apabila dia terkenal
dengan panggilan al-A’masy (orang yang kabur penglihatannya), pincang,
al-Azraq (yang berwarna biru), pendek, buta, buntung
tangannya, dan semisalnya maka boleh memperkenalkannya dengan
menyebut hal itu. Namun tidak boleh menyebutnya (membicarakannya) karena
menghina. Dan jika bisa memperkenalkannya dengan sebutan yang lain
tentu itu lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar