Selasa, 26 April 2016

Tanpa Judul
Oleh: Emha Ainun Najib

Di Zawiyyah Sebuah Masjid Sesudah shalat malam bersama, beberapa santri yang besok pagi diperkenankan pulang kembali ke tengah masyarakatnya, dikumpulkan oleh Pak Kiai di zawiyyah sebuah masjid.

Seperti biasanya, Pak Kiai bukannya hendak memberi bekal terakhir, melainkan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan khusus, yang sebisa mungkin belum usah terdengar dulu oleh para santri lain yang masih belajar di pesantren.

"Agar manusia di muka bumi ini memiliki alat dan cara untuk selamat kembali ke Tuhannya," berkata Pak Kiai kepada santri pertama, "Apa yang Allah berikan kepada manusia selain alam dan diri manusia sendiri?"
"Agama," jawab santri pertama.
"Berapa jumlahnya?"
"Satu."
"Tidak dua atau tiga?"
"Allah tak pernah menyebut agama atau nama agama selain yang satu itu, sebab memang mustahil dan mubazir bagi Allah yang tunggal untuk memberikan lebih dari satu macam tuntunan."
**
Kepada santri kedua Pak Kiai bertanya, "Apa nama agama yang dimaksudkan oleh temanmu itu?"
"Islam."
"Sejak kapan Allah mengajarkan Islam kepada manusia?"
"Sejak Ia mengajari Adam nama benda-benda."
"Kenapa kau katakan demikian?"
"Sebab Islam berlaku sejak awal mula sejarah manusia dituntun. Allah sangat adil. Setiap manusia yang lahir di dunia, sejak Adam hingga akhir zaman, disediakan baginya sinar Islam."
"Kalau demikian, seorang Muslimkah Adam?"
"Benar, Kiai. Adam adalah Muslim pertama dalam sejarah umat manusia."
**
Pak Kiai beralih kepada santri ketiga. "Allah mengajari Adam nama benda-benda," katanya, "bahasa apa yang digunakan?"
Dijawab oleh santri ketiga, "Bahasa sumber yang kemudian dikenal sebagai bahasa Al-Qur'an."
"Bagaimana membuktikan hal itu?"
"Para sejarahwan bahasa dan para ilmuwan lain harus bekerja sama untuk membuktikannya. Tapi besar kemungkinan mereka takkan punya metode ilmiah, juga tak akan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan. Manusia telah diseret oleh perjalanan waktu yang sampai amat jauh sehingga dalam kebanyakan hal mereka buta sama sekali terhadap masa silam."
"Lantas bagaimana mengatasi kebuntuan itu?"
"Pertama dengan keyakinan iman. Kedua dengan kepercayaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam kehendak Allah."
"Maksudmu, Nak?"
"Allah memerintahkan manusia bersembahyang dalam bahasa Al-Qur'an Oleh karena sifat Islam adalah rahmatan lil 'alamin, berlaku universal secara ruang maupun waktu, maka tentulah itu petunjuk bahwa bahasa yang kita gunakan untuk shalat adalah bahasa yang memang relevan terhadap seluruh bangsa manusia. Misalnya, karena memang bahasa Al-Qur'anlah yang merupakan akar, sekaligus puncak dari semua bahasa yang ada di muka bumi."
**
"Temanmu tadi mengatakan," berkata Pak Kiai selanjutnya kepada santri keempat, "bahwa Allah hanya menurunkan satu agama. Bagaimana engkau menjelaskan hal itu?"
"Agama Islam dihadirkan sebagaimana bayi dilahirkan," jawab santri keempat, "Tidak langsung dewasa, tua atau matang, melainkan melalui tahap-tahap atau proses pertumbuhan."
"Apa jawabmu terhadap pertanyaan tentang adanya berbagai agama selain Islam?"
"Itu anggapan kebudayaan atau anggapan politik bukan anggapan akidah."
"Apakah itu berarti engkau tak mengakui eksistensi agama-agama lain?"
"Aku mengakui nilai-nilai yang termuat dalam yang disebut agama-agama itu --sebelum dimanipulasikan-- sebab nilai-nilai itu adalah Islam jua adanya pada tahap tertentu, yakni sebelum disermpurnakan oleh Allah melalui Muhammad rasul pamungkasNya. Bahwa kemudian berita-berita Islam sebelum Muhammad itu dilembagakan menjadi sesuatu yang disebut agama --dengan, ternyata, berbagai penyesuaian, penambahan atau pengurangan-- sebenarnya yang terjadi adalah pengorganisasian. Itu bukan agama Allah, melainkan rekayasa manusia."
**
Pak Kiai menatapkan matanya tajam-tajam ke wajah santri kelima sambil bertanya, "Agama apakah yang dipeluk oleh orang-orang beriman sebelum Muhammad?"
"Islam, Kiai."
"Apa agama Ibrahim?"
"Islam."
"Apa agama Musa?"
"Islam."
"Dan agama Isa?"
"Islam."
"Sudah bernama Islamkah ketika itu?"
"Tidak mungkin, demikian kemauan Allah, ada nama atau kata selain Islam yang sanggup mewakili kandungan-kandungan nilai petunjuk Allah. Islam dan kandungannya tak bisa dipisahkan, sebagaimana api dengan panas atau es dengan dingin. Karena ia Islam, maka demikianlah kandungan nilainya. Karena demikian kandungan nilainya, maka Islamlah namanya. Itu berlaku baik tatkala pengetahuan manusia telah mengenal Islam atau belum."
**
"Maka apakah gerangan arti yang paling inti dari Islam?" Pak Kiai langsung menggeser pertanyaan kepada santri keenam.
"Membebaskan," jawab santri itu.
"Pakailah kata yang lebih memuat kelembutan!"
"Menyelematkan, Kiai."
"Siapa yang menyelamatkan, siapa yang diselamatkan, serta dari apa dan menuju apa proses penyelamatan atau pembebasan itu dilakukan?"
"Allah menyelamatkan manusia, diaparati oleh para khulafa' atas bimbingan para awliya dan anbiya. Adapun sumber dan tujuannya ialah membebaskan manusia dari kemungkinan tak selamat kembali ke Allah. Manusia berasal dari Allah dan sepenuhnya milik Allah, sehingga Islam --sistem nilai hasil karya Allah yang dahsyat itu-- dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari cengkeraman sesuatu yang bukan Allah."
"Apa sebab agama anugerah Allah itu tak bernama Salam, misalnya?"
"Salam ialah keselamatan atau kebebasan. Itu kata benda. Sesuatu yang sudah jadi dan tertentu. Sedangkan Islam itu kata kerja. Berislam ialah beramal, berupaya, merekayasa segala sesuatu dalam kehidupan ini agar membawa manusia kepada keselamatan di sisi Allah."
**
Pak Kiai menuding santri ketujuh, "Tidakkah Islam bermakna kepasrahan?"
"Benar, Kiai," jawabnya, "Islam ialah memasrahkan diri kepada kehendak Allah. Arti memasrahkan diri kepada kehendak Allah ialah memerangi segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak Allah."
"Bagaimana manusia mengerti ini kehendak Allah atau bukan?"
"Dengan memedomani ayat-ayatNya, baik yang berupa kalimat-kalimat suci maupun yang terdapata dalam diri manusia, di alam semesta, maupun di setiap gejala kehidupan dan sejarah. Oleh karena itu Islam adalahtawaran pencarian tak ada hentinya."
"Kenapa sangat banyak orang yang salah mengartikan makna pasrah?"
"Karena manusia cenderung malas mengembangkan pengetahuan tentang kehendak Allah. Bahkan manusia makin tidak peka terhadap tanda-tanda kehadiran Allah di dalam kehidupan mereka. Bahkan tak sedikit di antara orang-orang yang rajin bersembahyang, sebenarnya tidak makin tinggi pengenalan mereka terhadap kehendak Allah. Mereka makin terasing dari situasi karib dengan kemesraan Allah. Hasilnya adalah keterasingan dari diri mereka sendiri. Tetapi alhamdulillah, situasi terasing dan buntu yang terjadi pada peradaban mutakhir manusia, justru merupakan awal dari proses masuknya umat manusia perlahan-lahan ke dalam cahaya Islam. Sebab di dalam kegelapanlah manusia menjadi mengerti makna cahaya."
**
"Cahaya Islam. Apa itu gerangan?"
Santri ke delapan menjawab, "Pertama-tama ialah ilmu pengeahuan. Adam diajari nama benda-benda. Itulah awal mula pendidikan kecendekiaan, yang kelak direkonstruksi oleh wahyu pertama Allah kepada Muhammad, yakni iqra'. Itulah cahaya Islam, sebab agama itu dianugerahkan kepada makhluk tertinggi yang berpikiran dan berakal budi yang bernama manusia."
"Pemikiranmu lumayan," sahut Pak Kiai, "Cahaya Islam tentunya tak dapat dihitung jumlahnya serta tak dapat diukur keluasan dan ketinggiannya: kita memerlukan tinta yang ditimba dari tujuh lautan lebih untuk itu. Bersediakah engkau kutanyai barang satu dua di antara kilatan-kilatan cahaya mahacahaya itu?"
"Ya, Kiai."
"Sesudah engkau sebut Adam, apa yang kau peroleh dari Idris?"
"Dinihari rekayasa teknologi."
"Dari Nuh?"
"Keingkaran terhadap ilmu dan kewenangan Allah."
"Hud?"
"Kebangunan kembali menuju salah satu puncak peradaban dan teknologi canggih."
"Baik. Tak akan kubawa kau berhenti di setiap terminal. Tetapi jawablah: pada Ibrahim, terminal Islam apakah yang engkau temui?"
"Rekonstruksi tauhid, melalui metode penelitian yang lebih memeras pikiran dan pengalaman secara lebih detil."
"Pada Ismail?"
"Pengurbanan dan keikhlasan."
"Ayyub?"
"Ketahanan dan kesabaran."
"Dawud?"
"Tangis, perjuangan dan keberanian."
"Sulaiman?"
"Ke-waskita-an, kemenangan terhadap kemegahan benda, kesetiaan ekologis dan keadilan."
"Sekarang sebutkan yang engkau peroleh dari Musa!"
"Keteguhan, ketegasan haq, ilmu perjuangan politik, tapi juga kedunguan dalam kepandaian."
"Dari Zakaria?"
"Dzikir."
"Isa?"
"Kelembutan cinta kasih, alam getaran hub."
"Adapun dari Muhammad, anakku?"
"Kematangan, kesempurnaan, ilmu manajemen dari semua unsur cahaya yang dibawa oleh para perutusan Allah sebelumnya."
**
Akhirnya tiba kepada santri kesembilan. "Di tahap cahaya Islam yang manakah kehidupan dewasa ini?"
"Tak menentu, Kiai," jawab sanri terakhir itu, "Terkadang, atau bahkan amat sering, kami adalah Adam yang sembrono dan nekad makan buah khuldi. Di saat lain kami adalah Ayyub --tetapi-- yang kalah oleh sakit berkepanjangan dan putus asa oleh perolehan yang amat sedikit. Sebagian kami memperoleh jabatan seperti Yusuf tapi tak kami sertakan keadilan dan kebijakannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang dicampakkan ke dalam sumur tanpa ada yang mengambilnya. Ada juga golongan dari kami yang telah dengan gagahnya membawa kapak bagai Ibrahim, tapi sebelum tiba di gudang berhala, malah berbelok mengerjakan sawahsawah Fir'aun atau membelah kayu-kayu untuk pembangunan istana diktator itu."
Pak Kiai tersenyum, dan santri itu meneruskan, "Mungkin itu yang menyebabkan seringkali kami tersembelih bagai Ismail, tapi tak ada kambing yang menggantikan ketersembelihan kami."
"Maka sebagian dari kami lari bagai Yunus: seekor ikan paus raksasa menelan kami, dan sampai hari ini kami masih belum selesai mendiskusikan dan menseminarkan bagaimana cara keluar dari perut ikan." 
Pak Kiai tertawa terkekeh-kekeh.
"Kami belajar pidato seperti Harun, sebab dewasa ini berlangsung apa yang disebut abad informasi. Tetapi isi pidato kami seharusnya diucapkan 15 abad yang lalu, padahal Musa-Musa kami hari ini tidaklah sanggup membelah samudera."
"Anakku," Pak Kiai menyela, "pernyataan-pernyataanmu penuh rasa sedih dan juga semacam rasa putus asa."
"Insyaallah tidak, Kiai," jawab sang santri, "Cara yang terbaik untuk menjadi kuat ialah menyadari kelemahan. Cara yang terbaik untuk bisa maju ialah memahami kemunduran. Sebodoh-bodoh kami, sebenarnya telah pula berupaya membuat tali berpeluru Dawud untuk menyiapkan diri melawan Jalut. Tongkat Musa kami pun telah perlahan-lahan kami rekayasa, agar kelak memiliki kemampuan untuk kami lemparkan ke halaman istana Fir'aun dan menelan semua ular-ular sihir yang melata-lata. Kami juga mulai berguru kepada Sulaiman si raja agung pemelihara ekosistem. Seperti Musa kami juga belajar berendah hati kepada ufuk ilmu Khidhir. Dan berzikir. Bagai Zakaria, kami memperpeka kehidupan kami agar memperoleh kelembutan yang karib dengan ilmu dan kekuatan Allah. Terkadang kami khilaf mengambil hanya salah satu watak Isa, yakni yang tampak sebagai kelembekan. Tetapi kami telah makin mengerti bagaimana berguru kepada keutuhan Muhammad, mengelola perimbangan unsur-unsur, terutama antara cinta dengan kebenaran. Sebab tanpa cinta, kebenaran menjadi kaku dan otoriter. Sedangkan tanpa kebenaran, cinta menjadi hanya kelemahan, keterseretan, terjebak dalam kekufuran yang samar, hanyut dan tidak berjuang."
**
Betapa tak terbatas apabila perbincangan itu diteruskan jika tujuannya adalah hendak menguak rahasia cahaya Islam.
"Sampai tahap ini," kata Pak Kiai, "cukuplah itu bagi kalian, sesudah dua pertanyaan berikut ini kalian jawab."
"Kami berusaha, Kiai," jawab mereka.
"Bagaimana kalian menghubungkan keyakinan kalian itu dengan keadaan masyarakat dan negeri di mana kalian bertempat tinggal?"
"Kebenaran berlaku hanya apabila diletakkan pada maqam yang juga benar. Juga setiap kata dan gerak perjuangan," berkata salah seorang.
"Sebaik-baik urusan ialah di tengah-tengahnya, kata Rasul Agung. Harus pas. Tak lebih tak kurang," sambung lainnya.
"Muhammad juga mengajarkan kapan masuk Gua Hira, kapan terjun ke tengah masyarakat," sambung yang lain lagi.
"Mencari titik koordinat yang paling tepat pada persilangan ruang dan waktu, atau pada lalu lintas situasi dan peta sejarah."
"Ada dakwah rahasia, ada dakwah terang-terangan."
"Hikmah, maw'idhah hasanah, jadilhum billati hiya ahsan."
"Makan hanya ketika lapar, berhenti makan sebelum kenyang. Itulah irama. Itulah sesehat-sehat kesehatan, yang berlaku bagi tubuh maupun proses sejarah."
"Perjuangan ialah mengetahui kapan berhijrah ke Madinah dan kapan kembali ke Makkah untuk kemenangan."
"Dan di atas semua itu, Rasulullah Muhammad bersedia tidur beralaskan daun kurma atau bahkan di atas lantai tanah."
Pak Kiai tersenyum, "Apa titik tengah di antara kutub kaku dan kutub lembek, anak-anakku?"
"Lentur, Kiai!" kesembilan santri itu menjawab serentak, karena kalimat itulah memang yang hampir setiap hari mereka dengarkan dari mulut Pak Kiai sejak hari pertama mereka datang ke pesantren itu.
"Fal-yatalaththaf!" ucap Pak Kiai akhirnya sambil berdiri dan menyalami santri-santrinya satu per satu, "Titik pusat Al-Qur'an!" 
 
1987
Emha Ainun Nadjib

Senin, 18 April 2016

MENJAGA LISAN

Lidah adalah salah satu nikmat Allah dan keajaiban penciptaan-Nya. Kecil fisiknya tetapi besar ketaatan atau kedurhakaannya, sebab kejelasan antara kufur dan iman seseorang hanya diketahui dari kesaksian lidahnya. Iman dan kufur merupakan tingkatan tertingggi bagi ketaatan dan kedurhakaan.
Dengan anggota tubuh kecil ini seseorang bisa menungkapkan kehendaknya dan mengekspresikan perasaannya. Dengannya ia meminta orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, membela dirinya dan mengungkapkan isi hatinya. Dengannya ia menyapa teman duduknya dan menghibur sahabat karibnya. Dengannya ia bisa jatuh dan terhina atau bangkit meraih kehormatannya. Orang yang diam tidak mengungkapkan kebenaran merupakan setan yang bisu dan dia telah bermaksiat kepada Allah. Orang yang menyampaikan kebatilan merupakan setan yang berbicara, ia juga bermaksiat kepada Allah.
Tiada satu patah katapun yang kita ucapkan luput dari pendengaran Allah.
Tiada satu patah katapun yang diucapkan kecuali pasti memakan waktu.
Tiada satu patah katapun yang kita ucapkan kecuali dengan sangat pasti harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Maka, sebaik-baik dan seberuntung- beruntungnya manusia adalah orang yang sangat mampu memperhitungkan dan memperhatikan setiap kata yang diucapkannya. Sungguh, alangkah sangat beruntungnya orang yang menahan setiap kata-kata yang diucapkannya, alangkah sangat beruntungnya orang yang menahan diri dari kesia-siaan berkata dan menggantinya dengan berdzikir kepada Allah. Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda. ْﻦَﻣَﻭ َﻥﺎَﻛ ُﻦِﻣْﺆُﻳ ِﻪَّﻠﻟﺎِﺑ ِﻡْﻮَﻴْﻟﺍَﻭ ِﺮِﺧﻵْﺍ ْﻞُﻘَﻴﻠَﻓ
ْﺖُﻤْﺼَﻴِﻟ ْﻭَﺃ ﺍًﺮْﻴَﺧ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam” Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan hadits-hadits Arba’in. Beliau menjelaskan, “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara”. Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”. Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara,
dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”. Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan- perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya. Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.
Setiap gerak-gerik dan ucapan manusia selalu tidak lepas dari pengawasan Allah dan dicatat oleh malaikat Raqib dan ‘Atid, firman Allah :
“ Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi”. (QS 89:14).
Karena selalu diawasi, bagaimanakah manusia menjaga lisan itu sesuai dengan fitrahnya ? 1. Selalu berkata yang baik. Selalu berkata yang baik harus menjadi sikap hidup bagi orang yang beriman. Dari Abu Hurairah t Rasulullah bersabda: ْﻦَﻣ َﻥﺎَﻛ ُﻦِﻣْﺆُﻳ ِﻪﻠﻟﺎِﺑ ِﻡْﻮَﻴﻟْﺍَﻭ ِﺮِﺧﻵْﺍ ْﻞُﻘَﻴْﻠَﻓ
ْﺖُﻤْﺼَﻴِﻟْﻭَﺃ ﺍًﺮْﻴَﺧ “ Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. (Bukhari dan Muslim).
Menurut Imam Syafi’i apabila seseorang hendak berbicara pikirkanlah sebelumnya, seandainya sudah jelas kemashlahatannya maka ucapkanlah namun apabila ragu dengan perkataannya itu jangan disampaikan hingga jelas kemashlahatannya. 2. Tidak berdusta. Para ahli bahasa telah bersepakat bahwa dusta atau bohong ialah menyampaikan informasi (laporan, data, pertanggung jawaban) yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Firman Allah :
” Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu katakan”. (QS 61:3).
Rasulullah bersabda: ٌﻊَﺑْﺭَﺃ ْﻦَﻣ َّﻦُﻛ ِﻪْﻴِﻓ َﻥﺎَﻛ ﺎًﻘِﻓﺎَﻨُﻣ ,ﺎًﺼِﻟﺎَﺧ ْﻦَﻣَﻭ َﻥﺎَﻛ ِﻪْﻴِﻓ ٌﺔَﻠْﺼَﺧ َّﻦُﻬْﻨِﻣ ْﺖَﻧﺎَﻛ ِﻪْﻴِﻓ ٌﺔَﻠْﺼَﺧ َﻦِﻣ ِﻕﺎَﻔِﻨّﻟﺍ ﻰَّﺘَﺣ :َّﻦُﻬَﻋَﺪَﻳ ﺍَﺫِﺇ َﻦِﻤُﺗْﺅﺍ ,َﻥﺎَﺧ ﺍَﺫِﺇَﻭ َﺙَﺪَﺣ ,َﺏَﺬَﻛ َﺪَﻫﺎَﻋﺍَﺫِﺇَﻭ ,َﺭَﺪَﻏ ﺍَﺫِﺇَﻭ َﻢَﺻﺎَﺧ َﺮَﺠَﻓ ( ﻪﻴﻠﻋ ﻖﻔﺘﻣ ) Empat perkara apabila ada pada diri seseorang, maka ia adalah seorang munafik tulen, dan barang siapa yang ada dalam dirinya salah satunya, maka ia telah memiliki salah satu sifat kemunafikan sampai ia meningalkannya : Apabila diberi kepercayaan ia berkhianat, apabila berbicara ia bohong, apabila berjanji ia melanggarnya, dan apabila berbantahan (bermusuhan ) ia berbuat fasik. (muttafaqun ‘alaih ). 3. Tidak menggunjing. Firman Allah yang artinya:
“ Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain”.(QS 49:12).
Sedangkan yang dimaksud dengan menggunjing ialah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah : ُﺔَﺒْﻴِﻐْﻟَﺍ َﻙُﺮْﻛِﺫ َﻙﺎَﺧَﺃ
ُﻩَﺮْﻜَﻳ ﺎَﻤِﺑ “Ghibah ialah engkau menyebut saudaramu
tentang apa-apa yang tidak disenanginya”. (H.R Muslim).
Menurut An-Nawawi, bahwa yang dimaksud oleh hadits tersebut diatas ialah menyebut kekurangan dan keburukan seseorang dalam hal dunianya, agamanya, akhlaknya, istri dan anaknya, suaminya, hartanya, rumah tangganya, pakaiannya, gaya jalannya, pembantu rumah tangganya, baik menyebut dengan lisan maupun dengan bahasa isyarat kedipan mata, tangan dan sebagainya. 4. Tidak menghina sesama muslim. Sebagai orang yang beriman kita tidak boleh menghina, mencela dan melaknat seseorang,
sebagaimana firman Allah I yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum memperolok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, dan jangan pula wanita-wanita (mengolok- olok) wanita-wanita lain, karena boleh jadi wanita-wanita (yang diolok-olok itu) lebih baik dari wanita yang mengolok-olok, dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan buruk sesudah iman dan barang siapa tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.(QS 49 :11).
Adapun yang dimaksud dengan mencela diri sendiri pada ayat di atas ialah mencela sesama muslim. Sebab orang Islam itu bersaudara seperti satu badan, jadi menghina seorang muslim berarti menghina diri sendiri.
Sedangkan panggilan buruk yang dimaksud ialah memanggil seseorang dengan panggilan/gelar yang tidak ia sukai, seperti pangilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: Hai fasik, dan kata-kata sejenisnya. 5. Tidak berkata kotor. Yaitu perkataan yang tidak sopan, tidak pantas didengar dan jorok, hal tersebut bisa mengakibatkan orang yang mendengarnya menjadi tersinggung dan sakit hati. Allah I tidak menyukai orang yang berkata-kata kotor. Sabda Rasulullah : َّﻥِﺇ َﻪﻠﻟﺍ َﻻ ُّﺐِﺤُﻳ
َﺶِّﺤَﻔَﺘُﻤْﻟﺍ َﺶِﺣﺎَﻔْﻟﺍ “ Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang kotor perkataannya menyebabkan orang lain berkata kotor pula”. (Lihat : Ibnu Hibban 5177, Mawaridu Al-Dzam’an 1566, Ahmad 6514, Kasyfu Al- Khafa 736, Hadits Hasan). 6. Menjauhi pertengkaran dan perdebatan Dalam suatu riwayat, Nabi pernah mendatangi sahabat beliau yang sedang berdebat, seraya beliau menegur dan melarang perbuatan itu, lalu beliau bersabda : ْﻦَﻣ َﻙَﺮَﺗ َﺏِﺬَﻜﻟْﺍ َﻮُﻫَﻭ ٌﻞِﻃﺎَﺑ َﻲِﻨُﺑ ُﻪَﻟ ﻲِﻓ ِﺾَﺑَﺭ ِﺔَّﻨَﺠْﻟﺍ ْﻦَﻣَﻭ َﻙَﺮَﺗ َﺀﺍَﺮِﻤْﻟﺍ َﻮُﻫَﻭ ٌّﻖِﺤُﻣ َﻲِﻨُﺑ ُﻪَﻟ ﻲِﻓ ﺎَﻬِﻄَﺳَﻭ ْﻦَﻣَﻭ َﻦُﺴَﺣ ﺎَﻫَﻼْﻋَﺃ ﻲِﻓ ُﻪَﻟ َﻲِﻨُﺑ ُﻪُﻘُﻠُﺧ “Barang siapa yang meninggalkan dusta sedang dia dalam keadaan salah, dibangunkan )(oleh Allah) I untuknya (sebuah rumah) dipinggir surga. Dan barang siapa meninggalkan perdebatan sedangkan dia dalam keadaan benar, dibangunkan (oleh Allah) untuknya dipertengahannya dan barangsiapa yang baik akhlaknya dibangunkan untuknya (rumah) yang paling tinggi”. (H.R Tirmidzi dan berkata: Hadits Hasan).
Apalagi pada masa kini, pertengkaran dan perdebatan semakin meningkat dan banyak terjadi baik di pasar, di kantor, maupun di perusahaan. Karena itu bagi orang-orang yang niat hidupnya untuk ibadah kepada Allah , sudah tentu ia akan menghindari dan menjauhkannya baik dalam keadaan bersalah ataupun benar.
Wallahua’lam bisshawab. . BAHAYA LISAN Secara umum bahaya lisan ada pada kesalahan dalam berbicara, berdusta, menggunjing (ghibah), adu domba (namimah), bermuka dua (nifaq), berkata- kata kotor, berdebat yang tidak ada gunanya, memuji diri sendiri, membicarakan
kebatilan, menyebarkan permusuhan, menyakiti orang lain, menodai kehormatan orang lain, dan sebagainya. Komitmen bersikap diam memungkinkan seseorang untuk menghimpun tekad, mengedepankan sikap tenang, fokus untuk berfikir, berdzikir, beribadah dan selamat dari bahaya lidah, baik di dunia maupun di akhirat. CARA MENJAGA LISAN Setiap perkataan yang keluar dari mulut kita adalah sebuah perkara yang besar, berapa banyak dari perkataan buruk seseorang dapat menyebabkan kemarahan dari Allah ‘azza wajalla dan menjatuhkan pelakunya kedalam jurang neraka. Berhati- hatilah dari terlalu banyak berceloteh dan terlalu banyak berbicara, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan- bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia “. (An nisa:114)
Ingatlah bahwa disampingmu ada malaikat yang senantiasa mengamati dan mencatat perkataanmu.
“Seorang duduk disebelah kanan,dan yang lain duduk disebelah kiri.tiada satu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (Qaaf:17-18).
Dibawah ini 13 nasihat tentang adab-adab (sopan-santun dalam kacamata syariat) bagi seorang muslim dalam upaya menjaga kata- kata lisannya.
1. Bacalah Al qur’an karim dan bersemangatlah untuk menjadikan itu sebagai wirid keseharianmu, dan senantiasalah berusaha untuk menghafalkannya sesuai kesanggupanmu agar engkau bisa mendapatkan pahala yang besar dihari kiamat nanti.
Dari abdullah bin ‘umar radiyallohu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi
wasallam, beliau bersabda:
“dikatakan pada orang yang senang membaca alqur’an: bacalah dengan tartil sebagaimana engkau dulu sewaktu di dunia membacanya dengan tartil, karena sesungguhnya kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca”. (HR.abu daud dan attirmidzi)
2. Tidaklah terpuji jika engkau selalu menyampaikan setiap apa yang engkau dengarkan, karena kebiasaan ini akan menjatuhkan dirimu kedalam kedustaan.
Dari Abu hurairah radiallahu ‘anhu,sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta ketika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengarkan.” (HR.Muslim dan Abu Dawud)
3. Jauhilah dari sikap menyombongkan diri (berhias diri) dengan sesuatu yang tidak ada pada dirimu, dengan tujuan membanggakan diri dihadapan manusia.
Dari aisyah radiyallohu ‘anha, ada seorang wanita yang mengatakan: “wahai Rasulullah, aku mengatakan bahwa suamiku memberikan sesuatu kepadaku yang sebenarnya tidak diberikannya.” , berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam : “orang yang merasa memiliki sesuatu yang ia tidak diberi, seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan.” (muttafaq alaihi)
4. Sesungguhnya dzikrullah (mengingat Allah) memberikan pengaruh yang kuat didalam kehidupan ruh seorang muslim, kejiwaannya, jasmaninya dan kehidupan masyarakatnya. Maka bersemangatlah untuk senantiasa berdzikir kepada Allah ta’ala, disetiap waktu dan keadaanmu. Allah ta’ala memuji hamba-hambanya yang mukhlis dalam firman-Nya:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring…” (Ali imran:191).
5. Jika engkau hendak berbicara,maka jauhilah sifat merasa kagum dengan diri sendiri, sok fasih dan terlalu memaksakan diri dalam bertutur kata, sebab ini merupakan sifat yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, dimana Beliau bersabda:
“sesungguhnya orang yang paling aku benci diantara kalian dan yang paling jauh majelisnya dariku pada hari kiamat : orang yang berlebihan dalam berbicara, sok fasih dengan ucapannya dan merasa ta’ajjub terhadap ucapannya.” (HR.Tirmidzi,Ibnu Hibban dan yang lainnya dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiallahu anhu)
6. Jauhilah dari terlalu banyak tertawa,terlalu banyak berbicara dan berceloteh.
Jadikanlah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, sebagai teladan bagimu, dimana beliau lebih banyak diam dan banyak berfikir beliau Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, menjauhkan diri dari terlalu banyak tertawa dan menyibukkan diri dengannya. Bahkan jadikanlah setiap apa yang engkau ucapkan itu adalah perkataan yang mengandung kebaikan, dan jika tidak, maka diam itu lebih utama bagimu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,maka hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik,atau hendaknya dia diam.” (muttafaq alaihi dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu)
7. Jangan kalian memotong pembicaraan seseorang yang sedang berbicara atau membantahnya, atau meremehkan ucapannya. Bahkan jadilah pendengar yang baik dan itu lebih beradab bagimu, dan ketika harus membantahnya, maka jadikanlah bantahanmu dengan cara yang paling baik sebagai syi’ar kepribadianmu.
8. Berhati-hatilah dari suka mengolok-olok terhadap cara berbicara orang lain, seperti orang yang terbata-bata dalam berbicara atau seseorang yang kesulitan berbicara. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS.Al- Hujurat:11)
9. Jika engkau mendengarkan bacaan Alqur’an, maka berhentilah dari berbicara, apapun yang engkau bicarakan, karena itu merupakan adab terhadap kalamullah dan juga sesuai dengan perintah-Nya, didalam firman-Nya:
Artinya: “dan apabila dibacakan Alqur’an,maka dengarkanlah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian diberi rahmat”. Qs.al a’raf :204
10. Bertakwalah kepada Allah,bersihkanlah majelismu (dimana engkau berkumpul) dari ghibah (gossip) dan namimah (adu domba) sebagaimana yang Allah ‘azza wajalla perintahkan kepadamu untuk menjauhinya. Bersemangatlah engkau untuk menjadikan didalam majelismu itu adalah perkataan- perkataan yang baik,dalam rangka menasehati,dan petunjuk kepada kebaikan.
Didalam hadits Mu’adz radhiallahu anhu tatkala beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam: apakah kami akan disiksa dengan apa yang kami ucapkan? Maka jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“engkau telah keliru wahai Mu’adz, tidaklah manusia dilemparkan ke Neraka diatas wajah-wajah mereka melainkan disebabkan oleh ucapan-ucapan mereka.” (HR.Tirmidzi,An-Nasaai dan Ibnu Majah)
11. Berhati-hatilah -semoga Allah menjagamu- dari menghadiri majelis (pertemuan/ perkumpulan) yang buruk dan berbaur dengan para pelakunya, dan bersegeralah-semoga Allah menjagamu- menuju majelis yang penuh dengan keutamaan, kebaikan dan keberuntungan.
12. Jika engkau duduk sendiri dalam suatu majelis, atau bersama dengan sebagian saudara/imu, maka senantiasalah untuk berdzikir mengingat Allah ‘azza wajalla dalam setiap keadaanmu sehingga engkau kembali dalam keadaan mendapatkan kebaikan dan mendapatkan pahala. Allah ‘azza wajalla berfirman:
Artinya: “(yaitu) orang – orang yang mengingat Allah sambil berdiri,atau duduk,atau dalam keadaan berbaring” (QS..ali ‘imran :191)
13. Jika engkau hendak berdiri keluar dari majelis, maka ingatlah untuk selalu mengucapkan:
“maha suci Engkau ya Allah dan bagimu segala pujian,aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak untuk disembah kecuali Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu”
Sehingga diampuni bagimu segala kesalahanmu di dalam majelis tersebut.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Dan perintah Nabi terhadap pemimpin- pemimpin yang jahat, “Siapa yang melawan dengan tangannya maka dia seorang mukmin, dan siapa yang melawannya dengan lisannya dia seorang mukmin, dan siapa yang melawannya dengan hatinya dia seorang mukmin. Dan tidak ada iman sekecil apapun sesudah itu.” (HR. Muslim)
Sementara bukti dibolehkan ghibah dalam rangka mengenalkan dan membedakan seseorang dari yang lain tanpa maksud merendahkan dan menghina adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Beliau berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengimami kami dalam shalat Zhuhur, dua rakaat lalu salam. Kemudian beliau menuju ke sebuah kayu di masjid depan dan meletakkan tangannya di atasnya. Di tengah-tengah jamaah terdapat Abu Bakar dan Umar, keduanya segan untuk berbicara kepada beliau. Segera muncul kesimpulan orang- orang yang berkata, “Shalat telah diqashar.” Dan di antara jama’ah terdapat seseorang yang dijuluki Nabi dengan Dzul Yadain, dia berkata, “Wahai Nabiyallah, apakah Anda lupa atau shalat diqashar?” Lalu beliau menjwab, “Aku tidak lupa dan tidak pula shalat diqashar.” Mereka menjawab, “Berarti Anda lupa ya Rasulallah.” Beliau menjawab, “Dzul Yadain benar.” Lalu beliau berdiri dan shalat dua rakaat lalu salam. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wasallam sujud sahwi.” (Muttafaq ‘alaih)
Dasarnya adalah Nabi memanggil laki-laki ini dengan dzul yadain (yang punya dua tangan). Telah diketahui, panggilan semacam itu jika untuk menerangkan dan membedakan dari yang lain boleh-boleh saja. Namun jika untuk merendahkan maka tidak boleh. Dari sini, ketika ‘Aisyah mengisaratkan kepada seorang wanita yang menemuinya bahwa dia pendek, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menegurnya dan menerangkan hal itu sebagai ghibah. Karena Aisyah bermaksud memberitahukan bentuknya bukan hanya untuk mengenalkan.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ghibah adalah membicarakan orang dengan sesuatu yang tidak dia suka ketika dia tidak ada. Sedangkan asal al-bahtu adalah membicarakan keburukan orang lain yang tidak ada padanya. Keduanya diharamkan. Tapi dibolehkan ghibah untuk tujuan syar’i dengan enam sebab berikut ini: 1. Al-Tazhallum (mengadukan kezhaliman). Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk mengadukan kezhaliman yang menimpa dirinya kepada penguasa, qadhi, atau yang memiliki otoritas hukum ataupun pihak yang
berwajib lainnya. Ia dapat menuntut keadilan ditegakkan atas orang yang mezhaliminya dengan mengatakan, “Si Fulan telah melakukan kezhaliman terhadapku dengan cara seperti ini dan itu.” 2. Permintaan bantuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran dengan mengatakan kepada orang yang diharapkan mampu melakukannya, “Si Fulan telah berbuat begini, selamatkah dia darinya.” 3. Permintaan fatwa (al istifta’). Misal seseorang mengatakan kepada seorang mufti (pemberi fatwa), si fulan atau ayahku atau saudaraku atau suamiku telah menzhalimiku dengan cara begini. Apakah dia berhak berbuat seperti itu? Lalu apa yang harus aku perbuat agar aku selamat darinya dan terhindar dari kezhalimannya? Atau pernyataan apapun yang semacam itu. Maka ini hukumnya boleh jika diperlukan. Tapi lebih baik dia mengatakan, “Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang, atau seorang suami, ayah, anak yang telah memperbuat hal seperti ini? Namun demikian menyebutkan secara rinci tetap boleh berdasarkan hadits Hindun dan aduannya, “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang pelit.” 4. Memperingatkan kaum muslimin dari keburukan. Hal ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya: - Menyebutkan keburukan orang yang buruk (jarh majruhin) dari kalangan perawi hadits, saksi ataupun pengarang. Semua itu boleh berdasarkan ijma’, bahkan wajib sebagai langkah melindungi syari’at. - Membeberkan aibnya ketika bermusyawarah untuk menjalin hubungan dengannya (bisa dalam bentuk, kerjasama, pernikahan dan lainya-pent). - Apabila melihat seseorang membeli sesuatu yang cacat atau membeli seorang budak yang suka mencuri, berzina, mabuk- mabukan, atau semisalnya. Engkau boleh memberitahukannya kepada pembelinya jika ia tidak tahu dalam rangka memberi nasihat bukan untuk menyakiti atau merusak. - Apabila engkau melihat seorang pelajar (santri) yang sering bertandang kepada orang fasik atau ahli bid’ah untuk menuntut ilmu, dan engkau khawatir dia terpengaruh dengan sikap negatifnya, maka wajib engkau memerinya nasihat dengan menjelaskan keadaan orang tersebut semata-mata untuk menasihati. - Seseorang yang memiliki kedudukan namun tidak melaksanakan dengan semestinya karena bukan ahlinya atau karena kefasikannya, maka boleh melaporkannya kepada orang yang memiliki jabatan di atasnya agar dia memperoleh kejelasan tentang keadaanya supaya dia tidak tertipu olehnya dan mendorongnya untuk istiqamah. 5. Seseorang yang melakukan kefasikan (kemaksiatan) atau kebid’ahan dengan terang-terangan, seperti minum-minuman keras, merampas harta orang (memalak), mengambil pungutan liar, dan melakukan perbuatan batil lainnya. Maka boleh menyebut (membicarakan)nya karena dia melakukan kejahatan dengan terang- terangan. Adapun yang selain itu, tidak boleh kecuali ada sebab yang lain. 6. Untuk mengenalkan. Apabila dia terkenal dengan panggilan al-A’masy (orang yang kabur penglihatannya), pincang, al-Azraq (yang berwarna biru), pendek, buta, buntung
tangannya, dan semisalnya maka boleh memperkenalkannya dengan menyebut hal itu. Namun tidak boleh menyebutnya (membicarakannya) karena menghina. Dan jika bisa memperkenalkannya dengan sebutan yang lain tentu itu lebih baik.

Pages - Menu