Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:
1. "Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga yang terdiri dari manusia," lalu para sahabat bertanya, "Siapa mereka itu ya Rasulullah?" Beliau menjawab," yaitu Ahlul Qur'an. Mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang yang istimewa bagi Allah." (HR. Ahmad, An-Nasai, Ibnu Majah, Ad-Darimi, dan Al-Hakim)
2. "Sesungguhnya Allah akan meninggikan (kududukan) beberapa kaum dengan AL-Qur'an dan akan merendahkan (kedudukan) kaum yang lain dengan Al-Qur'an." (HR. Muslim)
3. "Bacalah Al-Qur'an karena Allah tidak akan menyiksa hati yang berisi (hafal) Al-Qur'an, dan sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah hidangan Allah. Barangsiapa masuk padanya maka ia akan aman dan barangsiapa mencintai Al-Qur'an, maka bergembiralah." (HR. Ad-Darimi)
Ketika Al-Qur'an sulit untuk dihafal, itu kemungkinan ada 2 sebab:
1. Karena banyaknya dosa kita. Maka cobalah untuk memaafkan diri sendiri serta perbanyak istighfar kepada Alah--Rabb semesta alam.
2. Mungkin memang Allah berkehendak demikian. Yang jika sekiranya Dia memudahkan kita untuk menghafal kitab-Nya, setelah itu malah kita mulai malas dalam membaca dan mempelajari Al-Qur'an. Jadi Dia menahan hafalan kita agar kita tidak pernah lupa dengan Al-Qur'an.
#KeepKhusnudzon :)
Puisi Akrostik Al-Qur'an
Oleh: Burhan Al-Faruq
Adalah rahmat bagi alam semesta
Lurus menuntun manusia menuju surga
Qowwam dari adzab neraka
Untuk hamba yang menjaganya
Roh Qudus; sang perantara
Al-Qur'an kitab mulia
Nyata mengairi dunia
Subang, 04 Juni 2015
Kamis, 11 Juni 2015
Senin, 09 Februari 2015
Jihadun Nafs
Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Kalian sekarang berada pada
zaman yang kebenaran menuntun hawa nafsu. Akan datang nanti sebuah masa ketika
hawa nafsu yang justru menuntun kebenaran. Kita berlindung kepada Allah dari
zaman tersebut.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
Mengendalikan jiwa adalah sifat orang yang cerdas. Ibnu
Jauzi Rahimahullah mengatakan, “Orang yang cerdas akan menahan jiwanya dari
sebuah kenikmatan yang menyisakan kepedihan dan syahwat yang mewariskan
penyesalan. Cukuplah ukuran ini sebagai pujian bagi kecerdasan dan celaan bagi
hawa nafsu.” (Dzammul Hawa)
Ibnu Qoyyim Rahimahullah menerangkan bahwa jihadun-nafs
melalui empat tingkatan:
1.
Memacu jiwa untuk mempelajari petunjuk dan agama
yang benar, yang tiada keberuntungan bagi jiwa dan tiada kebahagiaan baginya,
baik dalam kehidupan duniamaupun kehidupan akhirat selain dengannya. Apabila
jiwa tersebut terlewatkan darinya, ia akan sengsara di dunia dan akhirat.
2.
Memacu jiwa untuk mengamalkan petunjuk tersebut
setelah mengetahuinya. Apabila tidak demikian, sekadar ilmu tanpa amal, kalau
tidak mencelakakannya, tentu tidak memberinya manfaat.
3.
Memacu jiwa untuk mendakwahkan dan
mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya. Apabila tidak demikian,
ia tergolong orang yang menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang diturunkan
oleh Allah. Ilmunya tidak memberinya manfaat dan tidak menyelamatkannya dari
siksa Allah.
4.
Mengusahakan jiwa untuk bersabar terhadap
kesulitan-kesulitan dalam berdakwah dan dalam menghadapi gangguan makhluk serta
menanggung beban itu semua karena Allah.
Apabila seseorang menyempurnakan
empat tingkatan ini, ia akan menjadi golongan rabbani, karena sesungguhnya para
salaf (para pendahulu) bersepakat bahwa seorang alim tidak berhak untuk disebut
rabbani hingga dia mengetahui kebenaran, mengamalkannya, dan mengajarkannya.
Barang siapa mengetahui dan mengamalkannya, dia akan disebut sebagai orang
besar di kerajaan langit. (Zadul Ma’ad, 3/9)
Pernikahan Masa Kini
Pada era ini, usia pernikahan disebut ideal jika seseorang sudah berumur 21 tahun (perempuan) dan 25 tahun (laki-laki). Padahal ada sabda Rasul yang menjelaskan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang dianjurkan bagi syabab jika mampu (HR Mutafaq ‘alaihi). Syabab adalah seseorang yang telah mencapai usia baligh, namun ia masih belum dewasa—stabil, kurang lebih berumur 15 tahun.
Selain itu, penundaan pernikahan dilakukan karena ledakan jumlah penduduk yang berimbas pada kestabilan ekonomi. Maka dari itu pemerintah mengadakan kampanye untuk menunda pernikahan di usia dini. Di dalam Negara kita, seseorang yang belum berusia 18 tahun masih dianggap sebagai anak-anak. Hal ini telah disebutkan dalam pasal 1 UU No 23 Tahun 2002. Dan menjadi sebuah tindakan criminal apabila ada yang menikahkan anak yang masih di bawah umur 18 tahun. Hal ini sudah dipaparkan oleh Menteri Kesehatan RI, drNafsiah Mboi, SpA, MPH yang dilansir dari Atjehpos.com (Kamis, 26 September 2013).
Tapi dengan adanya peraturan ini. Banyak sekali kerusakan moral yang terjadi. Karena anak tidak bias menikah, ia kemudian memilih untuk pacaran. Melakukan seks aman dan sehat dengan alasan tidak ada aborsi atau pun bahaya lain. Di sisi lain, anak-anak yang hendak menuju usia syabab pada zaman sekarang ini tidak terlihat mempunyai kemampuan untuk menikah dan menafkahi. Salah satu faktornya karena pendidikan tentang menikah tidak diberikan sejak ia sudah mampu untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sudah bisa mengerjakan sholat dan ibadah wajib lainnya. Padahal banyak sekali anak usia muda yang sudah ingin menikah. Hanya saja mereka kebingungan. Bagaimana nanti akan menafkahi? Sedangkan mereka tidak mempunyai bekal ilmu serta tidak mempunyai pandangan luas untuk kedepannya.
Di dalam Islam sendiri, kewajiban seorang Ayah untuk menafkahi anak laki-lakinya gugur ketika anak itu sudah mencapai usia dewasa—baligh. Sedangkan dewasa menurut ukuran Negara dan KHI (kompilasi hukum Islam) adalah 21 tahun. Menjadi sunnah bagi seorang Ayah untuk menafkahi apabila anak sudah mencapai usia baligh. Banyak laki-laki yang tidak mampu menikah karena ia tidak memiliki modal. Inilah efek ketika system kapitalisme menjadi landasan bernegara. Karena system kapitalisme tidak akan pernah sesuai dengan fitrah manusia. Hanya ada satu solusi, yaitu mengembalikan system bernegara menurut aturan Allah dan RasulNya yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Sehingga tidak akan ada lagi efek negatif yang timbul seperti saat ini.
Sumber:
m.eramuslim.com/konsultasi/keluarga/kemiskinan-versus-menunda-pernikahan.htm
www.fikihkontemporer.com/2012/08/batas-usia-anak-dinafkahi.html
Selain itu, penundaan pernikahan dilakukan karena ledakan jumlah penduduk yang berimbas pada kestabilan ekonomi. Maka dari itu pemerintah mengadakan kampanye untuk menunda pernikahan di usia dini. Di dalam Negara kita, seseorang yang belum berusia 18 tahun masih dianggap sebagai anak-anak. Hal ini telah disebutkan dalam pasal 1 UU No 23 Tahun 2002. Dan menjadi sebuah tindakan criminal apabila ada yang menikahkan anak yang masih di bawah umur 18 tahun. Hal ini sudah dipaparkan oleh Menteri Kesehatan RI, drNafsiah Mboi, SpA, MPH yang dilansir dari Atjehpos.com (Kamis, 26 September 2013).
Tapi dengan adanya peraturan ini. Banyak sekali kerusakan moral yang terjadi. Karena anak tidak bias menikah, ia kemudian memilih untuk pacaran. Melakukan seks aman dan sehat dengan alasan tidak ada aborsi atau pun bahaya lain. Di sisi lain, anak-anak yang hendak menuju usia syabab pada zaman sekarang ini tidak terlihat mempunyai kemampuan untuk menikah dan menafkahi. Salah satu faktornya karena pendidikan tentang menikah tidak diberikan sejak ia sudah mampu untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sudah bisa mengerjakan sholat dan ibadah wajib lainnya. Padahal banyak sekali anak usia muda yang sudah ingin menikah. Hanya saja mereka kebingungan. Bagaimana nanti akan menafkahi? Sedangkan mereka tidak mempunyai bekal ilmu serta tidak mempunyai pandangan luas untuk kedepannya.
Di dalam Islam sendiri, kewajiban seorang Ayah untuk menafkahi anak laki-lakinya gugur ketika anak itu sudah mencapai usia dewasa—baligh. Sedangkan dewasa menurut ukuran Negara dan KHI (kompilasi hukum Islam) adalah 21 tahun. Menjadi sunnah bagi seorang Ayah untuk menafkahi apabila anak sudah mencapai usia baligh. Banyak laki-laki yang tidak mampu menikah karena ia tidak memiliki modal. Inilah efek ketika system kapitalisme menjadi landasan bernegara. Karena system kapitalisme tidak akan pernah sesuai dengan fitrah manusia. Hanya ada satu solusi, yaitu mengembalikan system bernegara menurut aturan Allah dan RasulNya yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Sehingga tidak akan ada lagi efek negatif yang timbul seperti saat ini.
Sumber:
m.eramuslim.com/konsultasi/keluarga/kemiskinan-versus-menunda-pernikahan.htm
www.fikihkontemporer.com/2012/08/batas-usia-anak-dinafkahi.html
Langganan:
Postingan (Atom)