Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Kalian sekarang berada pada
zaman yang kebenaran menuntun hawa nafsu. Akan datang nanti sebuah masa ketika
hawa nafsu yang justru menuntun kebenaran. Kita berlindung kepada Allah dari
zaman tersebut.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)
Mengendalikan jiwa adalah sifat orang yang cerdas. Ibnu
Jauzi Rahimahullah mengatakan, “Orang yang cerdas akan menahan jiwanya dari
sebuah kenikmatan yang menyisakan kepedihan dan syahwat yang mewariskan
penyesalan. Cukuplah ukuran ini sebagai pujian bagi kecerdasan dan celaan bagi
hawa nafsu.” (Dzammul Hawa)
Ibnu Qoyyim Rahimahullah menerangkan bahwa jihadun-nafs
melalui empat tingkatan:
1.
Memacu jiwa untuk mempelajari petunjuk dan agama
yang benar, yang tiada keberuntungan bagi jiwa dan tiada kebahagiaan baginya,
baik dalam kehidupan duniamaupun kehidupan akhirat selain dengannya. Apabila
jiwa tersebut terlewatkan darinya, ia akan sengsara di dunia dan akhirat.
2.
Memacu jiwa untuk mengamalkan petunjuk tersebut
setelah mengetahuinya. Apabila tidak demikian, sekadar ilmu tanpa amal, kalau
tidak mencelakakannya, tentu tidak memberinya manfaat.
3.
Memacu jiwa untuk mendakwahkan dan
mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya. Apabila tidak demikian,
ia tergolong orang yang menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang diturunkan
oleh Allah. Ilmunya tidak memberinya manfaat dan tidak menyelamatkannya dari
siksa Allah.
4.
Mengusahakan jiwa untuk bersabar terhadap
kesulitan-kesulitan dalam berdakwah dan dalam menghadapi gangguan makhluk serta
menanggung beban itu semua karena Allah.
Apabila seseorang menyempurnakan
empat tingkatan ini, ia akan menjadi golongan rabbani, karena sesungguhnya para
salaf (para pendahulu) bersepakat bahwa seorang alim tidak berhak untuk disebut
rabbani hingga dia mengetahui kebenaran, mengamalkannya, dan mengajarkannya.
Barang siapa mengetahui dan mengamalkannya, dia akan disebut sebagai orang
besar di kerajaan langit. (Zadul Ma’ad, 3/9)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar